BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Keluarga adalah unit sosial
terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap
perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.
Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai
tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga
lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah
satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental,
emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun
orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam
rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah
mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut.
Setiap
keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila
masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila
masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari
akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota
keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain,
apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin
sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah
dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai
pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan.
Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan
fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ?
2.
Apa pengertian KDRT
menurut undang-undang ?
3.
Apa saja bentuk
kekerasan dalam rumah tangga ?
4.
Apa saja factor
penyebab kekerasan dalam rumah tangga ?
5.
Bagaimana cara
penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga ?
6.
Apakah perlindungan
bagi korban kekerasan dalam rumah tangga ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan
point rumusan masalah diatas kita dapat mengetahui lebih mendalam tentang kasus
kekerasan dalam rumah tangga mulai dari pengertian secara umumnya dan dalam
kacamata pandangan Undang-undang, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga, factor yang melatarbelakangi kekerasan tersebut sampai ;pada
titik penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga serta perlindungan bagi para
korban kekerasan dalam rumah tangga
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah
Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah
kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
(A)
Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
(B)
Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
(C)
Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal
itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
(D)
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
Tindak
kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang
berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang
melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman
pidana”
B.
Pengertian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut perspektif Undang-undang
Menurut UU P KDRT:KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasukancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
(Pasal 1 Butir1).
Catatan:
Untuk anak telah diatur dalam UU No.23
Tahun 2002 tentang PERLINDUNGAN ANAK.
Pasal
2 menjabarkan selanjutnya:
(1)
Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang ini meliputi:
(I) suami,
istri, dan anak
(II) orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf
a karena hubungan darah,perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau
(III) orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
(2)
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
C.
Bentuk-bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam
4 (empat) macam :
a. Kekerasan
fisik
Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
b. Kekerasan psikologis
/ emosional
Kekerasan
psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan
jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual
berat, berupa:
1. Pelecehan
seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik,
terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
2. Pemaksaan
hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
3. Pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
4. Pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
5. Terjadinya
hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang
seharusnya dilindungi.
6. Tindakan
seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan
sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan
Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbalseperti komentar
verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non
verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan
atau menghina korban. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menghabiskan uang istri.
Kekerasan
Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa:
· Memaksa
korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
· Melarang
korban bekerja tetapi menelantarkannya.
· Mengambi l
tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan
Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban
tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
D.
Faktor-faktor
penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Strauss
A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat
dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan
atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi
dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi
dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban
pengasuhan anak
Istri
yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d. Wanita
sebagai anak-anak
Konsep
wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan
kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e. Orientasi
peradilan pidana pada laki-laki
Posisi
wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
E.
Penanggulangan
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk
menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya
keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya
sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan
baik dan penuh kesabaran.
b. Harus
tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam
agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan
orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
c. Harus
adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak
ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa
menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh
rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas.
Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang
istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim,
sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
F.
Perlindungan
bagi Korban KDRT.
Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi
(private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan
berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian
besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun
ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di
dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan
anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT
sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya,
agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara
dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.
UU
PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan
agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat,
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik
perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran
pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya
ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang
menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT.
Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat
serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun
melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.Dilihat dari stelsel hukum pidana,
tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan,
serta penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?
Memang,
tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik,
misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya
terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta
berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang
lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak
kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat
dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.
dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.
Bagaimanakah
bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-masing
institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di
lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang
lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas
sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU
PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk
perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri
belum tentu memahami bagaimana perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU
PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan
apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain
itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat
sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.
Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas
dan fungsinya masing-masing:
a. Perlindungan
oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7
(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu segera
membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban
dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya
dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan
yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan
kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah
terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan
penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.
b. Perlindungan
oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan
negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku
(mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan
sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan
kemitraan).
c. Perlindungan
dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang
diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat
melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama
30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan
tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
d. Pelayanan
tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi
terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan
laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e. Pelayanan
pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi
rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan
lembaga terkait.
f. Pelayanan
relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
g. Pelayanan
oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,
kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk
perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan
teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh
korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi
pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di
lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka
akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di
muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di
negeri ini amatlah subur.
Bahwa
anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional
seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan
tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata
tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka
yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan
berpendidikan tinggi.
KDRT
merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum,
agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah
perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi
korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur
dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat
memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Seharusnya
seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku
yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah
keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Di
dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis,
di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang
bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat
pasangannya masing-masing.
Seperti halnya
dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling
percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam
rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa
saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada
rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan
rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang
sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di
luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika
sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur
dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki
sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita
lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu
bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka
dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama
menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya
satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun
istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada
diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga
menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.
B. SARAN
Demikian
yang dapat kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima
saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar